Thursday, August 25, 2016

Sekilas Mengenal GBK (Gelora Bung Karno)

Stadion Utama Gelora Bung Karno
Sudah lebih dari setengah abad berdiri, Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) menjadi saksi bisu berbagai momen bersejarah bangsa. Mulai dari urusan sepak bola hingga politik.
Bung Karno dan stadionnya
Negara Indonesia baru berdiri kurang lebih selama 14 tahun ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Keppres No. 113/1959 tentang pembentukan Dewan Asian Games Indonesia (DAGI). Dengan menggandeng Raden Maladi (yang sebelumnya adalah Ketua Umum PSSI) sebagai Menteri Penerangan dan Frederik Silaban sebagai arsitek, Bung Karno memancangkan tiang pertama pembangunan stadion besar yang dimaksudkan sebagai stadion utama bangsa Indonesia, pada 8 Februari 1960. Seremoni tersebut dihadiri oleh Perdana Menteri Uni Soviet, Nikita Kruschev, karena memang pemerintah memperoleh kredit lunak sebesar $12,5 juta dari mereka untuk pembangunan stadion ini.
Bung Karno memutuskan untuk membangun sebuah stadion bukan hanya demi kelancaran Asian Games 1962, tetapi juga untuk menjadikannya, mengutip Julius Pour dalam bukunya yang berjudul Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno, sebagai “masterpiece” negeri ini.
Desain stadion juga tidak asal njeplak. “Gagasan Soekarno merancang mainstadium yang terindah, terbesar, dan terunik di dunia mendorong kreativitas tim arsitek dari Rusia di bawah pimpinan Soekarno menciptakan rancangan atap temu gelang,” demikian penjelasan dalam buku tersebut. Pada 24 Agustus 1962, Soekarno meresmikan stadion berkapasitas 110.000 penonton tersebut, berbarengan dengan siaran perdana Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Keberhasilan Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games IV secara tak langsung juga menjadi pengumuman kepada dunia bahwa kita sudah menjadi sebuah negara berdaulat yang mampu berdiri bangga, dan bukan lagi jajahan meneer-meneer Belanda.
Selepas Asian Games, tepatnya pada 1964, stadion tersebut kembali digunakan sebagai pusat pesta olahraga dunia, yakni Games of New Emerging Forces (GANEFO). Kali ini, aroma politis semakin amis. Maklum, Indonesia memang belum lama mundur dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Bung Karno menjadi salah satu pencetus New Emerging Forces (NEFOS), cikal bakal terciptanya Gerakan Non-Blok.
Seperti dikutip dari buku peringatan 80 tahun PSSI, Sepak Bola Indonesia: Alat Perjuangan Bangsa dari Soeratin hingga Nurdin Halid (1930-2010), “Seiring dengan itu, Bung Karno mendirikan NEFOS. Tidak berhenti di situ. Bung Karno pun memutuskan Indonesia keluar dari IOC (International Olimpic Committee) dan menggelar GANEFO tahun 1964 di Jakarta, sebagai tandingan terhadap pertandingan-pertandingan Olympiade di bawah naungan IOC yang identik dengan pesta olahraga negara-negara maju.”  Indonesia, Bung Karno, beserta stadion nasionalnya, telah tercatat, dan tidak dapat dihapuskan, di dalam sejarah dunia.
Habis Soekarno, terbitlah Soeharto. Lagi-lagi politik mengubah wajah stadion ini. Ke-anti-an pemerintah Orde Baru terhadap Orde Lama membuat Stadion Gelora Bung Karno diubah menjadi Stadio Utama Senayan, dari nama yayasan pengelolanya juga ikut berubah dari Yayasan Gelora Bung Karno menjadi Yayasan Gelanggang Olahraga Senayan (Keppres No.4/1984).
Barulah di era kepemimpinan Abdurrahman Wahid, berdasarkan Keppres No.7/ 2001, nama stadion kembali diubah menjadi Stadion Utama Gelora Bung Karno. Saat ini, kawasan Gelora Bung Karno dikelola oleh Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno.
Bahkan di era sekarang pun, stadion yang semestinya digunakan untuk acara olahraga (terutama sepakbola) ini tak bisa jauh-jauh dari politik. Bukan rahasia lagi, partai-partai politik seringkali menggunakan Gelora Bung Karno sebagai tempat acara puncak ulang tahun atau kampanye mereka. Begitu pun dengan para calon presiden, atau organisasi masyarakat (ormas) yang juga tak bisa jauh-jauh dari urusan politik – pada akhirnya, stadion utama bangsa ini memang tak bisa jauh-jauh dari politik, baik secara sejarah maupun secara fungsionalnya.

Polemik konser dan keserbagunaan stadion
Saya masih ingat betul bagaimana Metallica beraksi di atas panggung di tengah SUGBK sekitar tiga tahun silam. Magis. Hampir tidak ada yang protes meski lapangan sepak bola berubah menjadi moshpit. Dalam cermat saya, mungkin hampir semuanya sudah dibawa ke “never never land” oleh James Hetfield dkk.
Berbanding terbalik dengan ketika boyband papan atas dunia, One Direction, berkesempatan menyapa penggemarnya di negeri ini secara langsung pada 2015 kemarin. Para penggila sepak bola seperti benar-benar dibuat “gila” karena stadion, yang katanya sakral itu, malah dipenuhi oleh teriakan-teriakan histeris wanita yang terbius kegantengan (ini bisa diperdebatkan, sih) Louis Tomlinson beserta rekan-rekannya.
Dari dua kasus tersebut, selain persoalan ketidakadilan sikap fans sepakbola yang ‘berat sebelah’, sebenarnya sudah patut disadari bahwa fungsi stadion di era dewasa memang telah berkembang. Anda tidak bisa marah. Toh dari awal, Gelora Bung Karno memang tak cuma dipakai untuk ajang olahraga saja – tahukah kamu kalau PKI, yang sampai sekarang entah bagaimana terus menjadi momok menakutkan bagi bangsa ini, bahkan pernah menggelar kampanye akbar di sana? 
Sebagaimana rumusan Multatuli, “tugas manusia adalah menjadi manusia”. Jika, Stadion Utama Gelora Bung Karno kembali digunakan oleh manusia sebagai kepentingan non-olahraga di masa mendatang, saya rasa memang begitulah nasibnya; sejak awal mulanya pula. Fenomena yang tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara.
Jadi, terima saja.
Source : www.fourfourtwo.com/id/features/gelora-bung-karno-berdiri-karena-aksi-politik-bukan-karena-sepakbola-semata

Share this

0 Comment to "Sekilas Mengenal GBK (Gelora Bung Karno)"

Post a Comment

Salam sportifitas..
Tinggalkan komentar anda dengan menjunjung tinggi fair play.
Sesama blogger harus saling mendukung..

Note :
Mohon maaf, komentar terpaksa saya tinjau terlebih dahulu sebelum di publikasikan karena banyaknya yang melakukan SPAM akhir-akhir ini.
(update per 25 Oktober 2012)